Pimpinan Pesantren An-Naba Center, KH Syamsul Arifin Nababan saat membimbing mualaf bersyahadat.
Stevanus Vernanda Vountain S Th yang kini bernama Muhammad Hijery menceritakan bagaimana dirinya masuk Islam. Awalnya, ia yang menjadi pendeta bergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Gunung Mas, Kalteng mewakili agama yang dianutnya.
Di sana, ia bertemu dengan sejumlah ulama, lalu dekat dengan salah seorang ustadz. Ustadz tersebut aktif menjalin komunikasi dengan dirinya dan sering berdialog. Hingga akhirnya, sambil minta maaf, dia mengajukan pertanyaan kepada Ustadz itu.
“Saya bertanya kepada Ustadz itu, apa yang disembah muslimin ketika shalat, tidak ada sesiapa tidak ada pula benda. Beda dengan orang kristen ketika sembahyang jelas ada benda yang disembah. Ee ternyata ulama tadi memberikan pertanyaan balik sebagai jawabannya,” kata Muhammad Hijery di hadapan ratusan jamaah Subuh Masjid Ar Rahman di Jalan Kampung Melayu Banjarmasin, Kamis (11/2/2016) lalu.
Pertanyaan balik dari Ustadz tersebut adalah “bagaimana bentuk dan warna angin”. Pendeta diberi waktu seminggu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bahkan ia siap masuk Krsten jika pendeta bisa menjawabnya.
Tak juga bisa menjawab, pendeta itu kemudian bertanya kepada seniornya. Bukannya mendapat jawaban, ia malah ditertawakan. Akhirnya ia pun menyerah.
“Saya sudah menduga pasti kamu tidak akan bsia menjawab,” kata Ustadz tersebut, lantas menjelaskan jika angin yang dirasakan saja manusia tidak bisa menjawab bagaimana warna dan bentuknya, apalagi untuk melihat Sang Pencipta angin. Manusia terlalu lemah.
Jawaban itu kemudian menjadi perenungan si pendeta.
“Kemudian muncul kegelisahan luar biasa hingga memutuskan untuk bersyahadat bersama istri dan anak-anak saya,” kenang Muhammad Hijery seperti dikutip Tribunnews. [Ibnu K/Tarbiyah.net]
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
No comments