Sudah lama KPK diragukan manfaatnya. Bukan berarti tidak setuju korupsi diberantas. Tapi pemberantasan korupsi sebetulnya tidak harus membentuk lembaga baru seperti KPK.
Pertanyaan sederhana, mengapa lembaga internal yang ada di tiap kementerian seperti Inspektorat Jenderal, tidak difungsikan secara maksimal?
Begitu juga mengapa lembaga BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) dibiarkan menganggur?
Ketidaksetujuan itu, bukan sekedar mau bersikap melawan arus atau tampil beda. Melainkan pada intinya proses pembentukan KPK yang terjadi di tahun 2002, tidak lepas dari jebakan negara-negara maju.
Kini setelah 14 tahun KPK berdiri serta beroperasi, kegiatan korupsi bukannya mereda. Malahan makin berani, terbuka, terang-terangan, dan para koruptor pun sudah tidak ada urat malunya.
Berdirinya lembaga KPK secara resmi, berarti secara resmi pula negara kita mengaku bahwa Indonesia merupakan negara yang penuh dengan korupsi dan koruptor.
Bayangkan yang korup hanya minoritas, tetapi seluruh rakyat Indonesia, mayoritas dianggap hidup dari uang hasil korupsi.
Bukannya bermaksud berbohong atau tak berani mengaku kelemahan negara kita. Tetapi stigma Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, akan sulit dihilangkan.
Jika Indonesia sudah mengaku sebagai negara korup, apa mungkin investor yang berasal dari negara-negara tidak korup mau berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia?
Memang belum ada data yang dihasilkan dari sebuah survei yang mempertegas soal ini. Namun kalau melihat betapa sulitnya BKPM (Badan Koordinasi Penanamam Modal) mendapatkan investor asing yang serius dibanding sebelum KPK berdiri, situasi ini sebetulnya sudah sebuah pertanda buruk.
Mungkin tak banyak yang menyadari, perusahaan asing yang mau berinvestasi di Indonesia, rata-rata perusahaan yang masuk kategori taat aturan. Kalau bukan pembayar pajak yang baik, mereka tidak terbiasa main kongkalikong. Sehingga semua dana, uang atau apapun bentuknya bisa dipertanggung jawabkan.
Sebuah perusahaan yang sudah berani “go public”, harus menjalankan semua usahanya dengan mengacu pada persyaratan ketat. Kalau tidak punya uang, jangan mengaku-ngaku punya modal.
Di negara-negara maju, direksi sebagai pengelola perusahaan merupakan kalangan profesional yang dipilih berdasarkan kriteria jelas oleh seluruh pemegang saham. Perusahaan seperti inilah yang mau berinvestasi di luar negeri termasuk Indonesia.
Singapura memang tiba-tiba melejit sebagai salah satu investor terbesar di Indonesia belakangan ini. Menggantikan Jepang, yang secara tradisional, selama puluhan tahun terus mendominasi.
Namun fakta soal kenaikan peringkat Singapura ini justru mengundang tanya. Yaitu mengapa Singapura yang terkenal paling banyak melindungi koruptor yang melarikan diri dari Indonesia, tiba-tiba kok melihat Indonesia sebagai surga bagi berbagai investasi ?
Pertanyaan sederhana, mengapa lembaga internal yang ada di tiap kementerian seperti Inspektorat Jenderal, tidak difungsikan secara maksimal?
Begitu juga mengapa lembaga BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) dibiarkan menganggur?
Ketidaksetujuan itu, bukan sekedar mau bersikap melawan arus atau tampil beda. Melainkan pada intinya proses pembentukan KPK yang terjadi di tahun 2002, tidak lepas dari jebakan negara-negara maju.
Kini setelah 14 tahun KPK berdiri serta beroperasi, kegiatan korupsi bukannya mereda. Malahan makin berani, terbuka, terang-terangan, dan para koruptor pun sudah tidak ada urat malunya.
Berdirinya lembaga KPK secara resmi, berarti secara resmi pula negara kita mengaku bahwa Indonesia merupakan negara yang penuh dengan korupsi dan koruptor.
Bayangkan yang korup hanya minoritas, tetapi seluruh rakyat Indonesia, mayoritas dianggap hidup dari uang hasil korupsi.
Bukannya bermaksud berbohong atau tak berani mengaku kelemahan negara kita. Tetapi stigma Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, akan sulit dihilangkan.
Jika Indonesia sudah mengaku sebagai negara korup, apa mungkin investor yang berasal dari negara-negara tidak korup mau berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia?
Memang belum ada data yang dihasilkan dari sebuah survei yang mempertegas soal ini. Namun kalau melihat betapa sulitnya BKPM (Badan Koordinasi Penanamam Modal) mendapatkan investor asing yang serius dibanding sebelum KPK berdiri, situasi ini sebetulnya sudah sebuah pertanda buruk.
Mungkin tak banyak yang menyadari, perusahaan asing yang mau berinvestasi di Indonesia, rata-rata perusahaan yang masuk kategori taat aturan. Kalau bukan pembayar pajak yang baik, mereka tidak terbiasa main kongkalikong. Sehingga semua dana, uang atau apapun bentuknya bisa dipertanggung jawabkan.
Sebuah perusahaan yang sudah berani “go public”, harus menjalankan semua usahanya dengan mengacu pada persyaratan ketat. Kalau tidak punya uang, jangan mengaku-ngaku punya modal.
Di negara-negara maju, direksi sebagai pengelola perusahaan merupakan kalangan profesional yang dipilih berdasarkan kriteria jelas oleh seluruh pemegang saham. Perusahaan seperti inilah yang mau berinvestasi di luar negeri termasuk Indonesia.
Singapura memang tiba-tiba melejit sebagai salah satu investor terbesar di Indonesia belakangan ini. Menggantikan Jepang, yang secara tradisional, selama puluhan tahun terus mendominasi.
Namun fakta soal kenaikan peringkat Singapura ini justru mengundang tanya. Yaitu mengapa Singapura yang terkenal paling banyak melindungi koruptor yang melarikan diri dari Indonesia, tiba-tiba kok melihat Indonesia sebagai surga bagi berbagai investasi ?
Apa yang membuat Singapura lebih tertarik pada Indonesia ketimbang negeri Tiongkok? Apakah karena di Tiongkok, pengusaha atau investor Simgapura tidak bisa menyogok aparatur dan birokrat pemerintah.
Atau apakah karena Singapura tahu bagaimana cara menyogok orang-orang di Indonesia ?
Saat semua persoalan di atas masih mengambang, tiba-tiba muncul kabar baru bahwa Ketua KPK saat ini Agus Rahardjo terlibat korupsi dalam kasus e-KTP.
Tidak tanggung-tanggung yang mengungkapkan hal ini yaitu seorang Gamawan Fauzi, mantan Menteri Dalam Negeri di era pemerintahan SBY.
Apa reaksi pimpinan KPK atas tudingan Gamawan Fauzi?
Diam dan tak bersuara.
Ini artinya apa? Bisa jadi tuduhan bahwa Agus Rahardjo seorang koruptor, benar adanya.
Mestinya kalau Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK merasa tidak terlibat praktek korupsi, jangankan dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 2,4 jam, Agus Rahardjo sudah harus memberi klarifikasi, membantah Gamawan Fauzi.
Bahkan bila perlu Ketua KPK ini menuntut Gamawan Fauzi ke pengadilan, karena pengungkapannya itu sudah merupakan pencemaran nama baik.
Gamawan Fauzi sendiri tidak hanya menyebut Agus Rahardjo yang ketika terlibat dalam korupsi pembuatan E-KTP itu menjabat Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah.
Eks Mendagri itu juga menyebut Agus Martowadoyo, eks Menteri Keuangan sebagai sosok yang itu terlibat ketika proyek E-KTP tersebut diluncurkan.
Nah tudingan terhadap Ketua KPK Agus Rahardjo semestinya tidak didiamkan. Bahkan kalau perlu KPK sendiri yang menyidik Ketua-nya.
Sebaliknya kalau Agus Rahardjo punya jiwa sportif, dia harus menyatakan mundur dari KPK baik sebagai anggota maupun sekaligus sebagai pimpinan.
Selama Agus Rahardjo bertahan, hal ini sama dengan tambah menjadikan KPK sebagai lembaga yang tidak layak eksis di Indonesia.
JIka Agus Rahardjo terus bertahan, conflik of interest tak terhindarkan. Lembaga KPK sendiri semakin digembosi oleh pengurusnya sendiri.
Sebab akan sangat janggal dan makin menimbulkan antipati terhadap KPK, kalau Ketua KPK sudah disebut terlibat korupsi tapi pura pura tidak mendengar. Atau menganggap tuduhan Gamawan Fauzi hanya sebuah berita hoax.
Kalau pimpinan KPK saat ini masih punya integritas, sepatutnya semua anggota dan pimpinan KPK saat ini harus bersedia demisioner.
Akan terasa sangat tidak adil dan tidak mendidik, apabila Ketua KPK sudah dituduh terlibat korupsi dalam proyek senilai Rp. 5,8triliun, malah masih terus melakukan penangkapan.
Apalagi yang ditangkap atau yang dijadikan tersangka hanya mereka yang kasusnya cuma bernilai puluhan juta atau milyaran rupiah.
KPK harus segera menghentikan kegiatan menangkap koruptor dan menjadikan tersangka siapa saja – sepanjang KPK tidak bisa membersihkan dirinya sendiri lebih dahulu.
Ingat rakyat membisu, bukan berarti takut dan tak peduli.
Penulis: Derek Manangka
Editor: Tim Portal Piyungan
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
No comments