Di dalam Islam, shalat merupakan ibadah badaniyah yang penting dan telah ditetapkan waktu pelaksanaannya. Allah berfirman, artinya : Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). (An Nisa`:103). Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman … [An Nisa` : 104].
Untuk mengetahui waktu shalat, Allah telah mensyariatkan adzan sebagai tanda masuk waktu shalat, berikut tata cara adzan dan hukum Islam berkenaan dengan adzan tersebut. Yang semuai ini, sangat penting untuk diketahui oleh kaum muslimin.
PENGERTIAN ADZAN DAN IQAMAH
Kata Adzan berasal dari bahasa Arab yang bermakna pemberitahuan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al Baqarah:279].
وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ اْلأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ 3
Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakan kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat ) siksa yang pedih. [At Taubah : 3].
Adapun menurut syariat, adzan adalah beribadah kepada Allah dengan pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan dzikir tertentu. Inilah yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin, sebagaimana pernyataan beliau: “Ini lebih tepat dari hanya (sekedar) pengertian bahwa adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat, sebab adzan itu ikut shalat. Oleh karena itu, jika diysariatkan ibrad dalam shalat Dhuhur (memperlambat shalat Dhuhur sampai agak dingin), maka disyariatkan mengakhirkan adzan”. [1]
Adapun iqamah, menurut kaidah bahasa Arab berasal dari kata aqama yang maknanya, menjadikannya lurus atau menegakkan. Sedangkan menurut istilah syariat, iqamah ialah, ibadah kepada Allah untuk menegakkan shalat dengan dzikir tertentu.[2]
PERBEDAAN ADZAN DAN IQAMAH
Dari pengertian adzan dan iqamah di atas, maka dapat diketahui perbedaan antara adzan dan iqamah ialah:
1. Adzan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat agar bersiap-siap menunaikannya, dan iqamah untuk masuk dan memulai shalat.
2. Lafadz (dzikir) yang dikumandangkan, dan masing-masing (antara adzan dan iqamah) juga berbeda, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.
SIFAT DAN LAFADZ ADZAN DAN IQAMAH
Lafadz adzan yang ada dan digunakan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkenal dalam madzhab para Ulama terdapat adalah tiga macam :
1. Lafadz adzan dengan 15 kalimat, yaitu : 4 takbir, 2 syahadat Lailaha illa Allah, 2 syahadat Rasulullah, 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya ‘alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid.
” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ . حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ . حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ .اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”
Inilah yang dipakai madzhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah. Dasarnya ialah hadits Abdullah bin Zaid yang berbunyi:
لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Ketika Rasulullah memerintahkan penggunaan lonceng untuk memanggil orang berkumpul untuk shalat, maka dalam tidurku, aku bermimpi ada seseorang yang mengelilingiku dengan memanggul lonceng di tangannya, lalu aku berkata kepadanya:
“Wahai, hamba Allah. Apakah kamu menjual lonceng itu?”
Maka ia menjawab: “Hendak engkau apakan ia?”
Maka aku menjawb: “Memanggil orang shalat dengannya”.
Lalu orang tersebut menyatakan: “Maukah engkau, aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?”
Aku menjawab: “Ya, mau”.
Maka ia mengatakan : “Katakanlah:
” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”
Ia berkata: “Kemudian orang tersebut muncul tidak jauh dariku,”
Kemudian menyatakan: Dan jika engkau melakukan iqamah, (maka) katakanlah:
” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”
Ketika subuh, aku menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpiku tersebut. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
“Sungguh, itu adalah mimpi yang benar, insya Allah.
Maka pergilah ke Bilal dan ajarkanlah apa yang engkau lihat, lalu hendaklah Bilal mengumandangkan adzan dengannya, karena ia lebih keras suaranya darimu.”
Lalu aku menemui Bilal dan mengajarkan kepadanya, dan iapun adzan dengannya.
Lalu Umar bin Khaththab mendengar hal itu di dalam rumahnya, lalu ia keluar menyeret selendangnya dan menyatakan:
“Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, wahai Rasulullah, sungguh akupun melihat apa yang ia lihat dalam mimpi”.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan :
“Alhamdulillah”.[3]
2. Lafadz adzan sejumlah 17 kalimat, yaitu 2 takbir, 2 syahadatain diulang dua kali = 8 kalimat, 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah adzan menurut Imam Malik, dan dasarnya ialah hadits Abu Mahdzurah:
عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ عَلَّمَهُ هَذَا الْأَذَانَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ يَعُودُ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ مَرَّتَيْنِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ مَرَّتَيْنِ زَادَ إِسْحَقُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan dengan:
” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”
Kemudian mengulang, lalu membaca:
” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”
” حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ” (dua kali)
Dan (membaca) حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ dua kali.
Ishaq menambahkan bacaan: [4]
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
3. Lafadznya 19 kalimat, yaitu 4 takbir, 2 syahadatain dengan tarji’ (diulang dua kali = 8 kalimat), 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah yang dijadikan pedoman dalam madzhab Syafi’i. Dalilnya ialah hadits Abu Mahdzurah :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.[5]
Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain dari Abu Mahdzurah, ia berkata:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي سُنَّةَ الْأَذَانِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِي وَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ تَرْفَعُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ تَخْفِضُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَرْفَعُ صَوْتَكَ بِالشَّهَادَةِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ فَإِنْ كَانَ صَلَاةُ الصُّبْحِ قُلْتَ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Aku berkata: “Wahai Rasulullah. Ajarilah aku sunnah adzan.” Lalu Beliau memegang bagian depan kepalaku dan berkata: “Ucapkanlah dengan suara perlahan
” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”
Kemudian keraskanlah suaramu dalam membaca syahadat:
” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ .
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ .حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ. حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ”
Jika shalat Subuh, katakanlah :
” الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ ”
Lalu :[6]
” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّه ”
Ibnu Abdil Bar mengatakan: “Ahmad, Ishaq, Dawud dan Ibnu Jarir berpendapat, ini termasuk khilaf yang mubah, karena takbir yang empat pertama atau dibuat dua kali, atau dengan tarji’ dalam syahadat atau tidak, iqamah dibuat dua-dua atau satu-satu semuanya kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ . semuanya boleh.[7]
Dalam permasalahan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memberikan tarjih sebagaimana pernyataan beliau: Semua yang ada dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari lafadz adzan, maka diperbolehkan, bahkan semestinya, terkadang menggunakan yang ini dan terkadang yang itu, jika tidak menimbulkan keresahan dan fitnah. Ada kaidah yang menyatakan, ibadah-ibadah yang diajarkan dalam sisi yang berbeda-beda, hendaknya dilakukan atas sisi-sisi tersebut semuanya.
Hal ini memiliki beberapa faidah (manfaat):
a). Menjaga Sunnah dalam berbagai sisinya.
b). Mempermudah para mukallaf.
c). Kehadiran hati (membuat khusyu`) dan tidak bosan.
d). Menjaga dan memelihara syariat.[8]
Kemudian ada riwayat lain yang menjelaskan bahwa adzan dilakukan dua-dua, dan iqamah satu-satu, sebagaimana disebtukan dalam hadits Ibnu Umar :
كَانَ الأّذَانُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيْ مَثْنَى مَثْنَى وَ الإِقَامَةُ وَاحِدَةٌ غَيْرُ أَنَّهُ إِذَا قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ثَنَى بِهَا
Adzan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dua-dua, dan iqamah satu-satu, kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ dua kali. [9]
Sedangkan lafadz iqamah ada tiga juga, yaitu:
a). Iqamah 11 kalimat, yaitu :
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Inilah iqamah menurut pendapat Syafi’i, Ahmad dan kebanyakan ulama, dengan dasar hadits Abdullah bin Zaid di atas.
b). Iqamah seperti di atas dengan dikurangi قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ menjadi satu sehingga jumlahnya 10 kalimat. Demikian ini iqamah menurut madzhab Malikiyah.[10]
c). Iqamah berjumlah 17 kalimat, yaitu :[11]
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Inilah iqamah menurut madzhab Abu Hanifah, dengan dasar hadits Abu Mahdzurah yang menyatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.
Abu Isa Al Tirmidzi menyatakan : “Ini hadits hasan shahih”.[12]
4). Iqamah dengan 9 kalimat, dengan satu-satu kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ dua kali, dasarnya ialah hadits Ibnu Umar di atas.
Imam Bukhari juga menulis masalah ini dalam bab Al Iqamatu Wahidah Illa Qaulahu قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ , yang didukung disepakati Al Hafizh Ibnu Hajar dalam pensyariatannya.
Semua lafadz adzan di atas boleh dipergunakan, dan lebih baik bila digunakan seluruhnya, kecuali jika menimbulkan fitnah di masyarakat, sebagaimana telah disampaikan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas.
KANDUNGAN LAFADZ ADZAN
Lafazd adzan dan iqamah mencakup kandungan aqidah seorang muslim, sehingga Imam Al Qadhi Iyadh berpendapat: “Ketahuilah, bahwa adzan adalah kalimat yang berisi aqidah iman yang mencakup jenis-jenisnya. Yang pertama, menetapkan Dzat dan yang seharusnya dimiliki Dzat Allah dari kesempurnaan dan pensucian dari lawan kesempurnaan. Dan itu terkandung pada ucapan “Allahu Akbar”. Lafadz ini, walaupun sangat ringkas, namun sudah menjelaskan apa yang telah kami sebutkan di atas.
Kemudian (yang kedua), menegaskan keesaan Allah dan penolakan sekutu yang mustahil ada bagiNya. Ini merupakan dasar dan tonggak iman, dan tauhid yang didahulukan ada di atas segala tugas agama lainnya. Kemudian menegaskan penetapan kenabian dan persakisan akan kebenaran risalah (kerasulan) bagi Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini merupakan kaidah agung setelah syahadat tentang keesaaan Allah. Kemudian mengajak kepada ibadah yang diperintahkan.
Mengajak untuk shalat dan menjadikannya setelah penetapan kenabian, karena kewajibannya diketahui melalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan melalui akal. Kemudian mengajak kapada kemenangan, yaitu kekal di dalam kenikmatan yang abadi.
Disini terdapat isyarat untuk perkara-perkara akhirat dalam hal kebangkitan dan pembalasan yang merupakan akhir masalah aqidah Islam. Lalu hal itu diulang-ulang dengan iqamat shalat untuk memberitahu mulainya. Hal ini mengandung penegasan iman dan pengulangan penjelasan iman ketika memulai suatu ibadah dengan hati dan lisan, dan agar orang yang shalat senantiasa berada di atas kejelasan amalannya dan ilmu tentang imannya, serta merasakan keagungan shalat dan keagungan Dzat yang disembah serta pahala yang besar”. [13]
Imam Al Qurthubi juga menyatakan: “Adzan, walaupun lafadznya sangat ringkas, namun mengandung banyak masalah aqidah; karena adzan dimulai dengan takbir yang mengandung penetapan keberadaan dan kesempurnaan Allah. Kemudian diikuti dengan penetapan tauhid dan menafikan syirik.
Lalu penetapan risalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ajakan untuk mentaati Beliau secara khusus setelah syahadat (persaksian) tentang risalah (kerasulan), karena tidak diketahui ibadah shalat tersebut kecuali dari jalan rasul. Kemudian ajakan kepada kemenangan, yaitu kekekalan dan berisi isyarat tentang hari pembalasan, lalu diulang-ulang sebagai penegasan. Sehingga dari adzan didapatkanlah pemberitahuan tentang masuk waktu shalat, ajakan berjamaah dan menampakkan syiar Islam”.
Maraji` :
1. Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan kedua, Tahun 1414 H, Daar Al Kitab Al Arabi.
2. Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Tahqiq Dr. Sulaiman bin Abdillah Aba Khail dan Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih, Cetakan pertama, Tahun 1415H, Muassasah Aasaam, KSA.
3. Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam Al Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan Tahun 1415H, Daar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut.
4. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Hajar, Maktabah As Salafiyah.
5. Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyar Syarhu Muntaqa Al Akhbar, Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan pertama, Tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut.
6. Tamam Al Minnah Fi Ta’liq ‘Ala Fiqhi As Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan ketiga, Tahun 1409 H, Dar Rayah, Riyadh, KSA.
7. Irwa’ Al Ghalil Fi Takhrij Ahadits Manaru Al Sabil, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan kedua, Tahun 1405 H, Al Maktab Al Islami, Beirut.
8. Fiqhu Sunnah, Sayyid Sabiq, Cetakan Tahun 1416 H, Al Fath Li I’lam Al Arabi, Kairo dan Syarikat Manar Ad Daulah, USA.
9. Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Al Qasim, tanpa tahun cetakan dan penerbit.
10. Al I’lam Bi Fawaid Umdat Al Ahkam, Ibnu Al Mulaqqin, Tahqiq Abdul Aziz Ahmad Al Musyaiqih, Cetakan pertama, 1417H, Dar Al ‘Ashimah, KSA.
Oleh : Ustadz Kholid Syamhudi
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 035Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, tahqiq Dr. Sulaiman bin Abdillah Aba Khail dan Dr. Khalid bin Ali Musyaiqih, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Muassasah Asam, KSA, hlm. 2/35.
[2]. Ibid, hlm. 2/36.
[3]. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud, no. 499; Ibnu Majah, no. 706; Ad Darimi (1/214-215); At Tirmidzi, no. 189; Ahmad dalam Musnad-nya (4/43) dan Ibnu Khuzaimah (1/189, 191-192), juga Ibnu Al Jarud dalam Muntaqa-nya. Lihat takhrij hadits ini pada Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan kedua, Tahun 1414H, Daar Al Kitab Al Arabi, hlm. 1/156. Abu Ishaq menyatakan, sanadnya hasan. Demikian juga Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hlm. 1/264-265, no. 247.
[4]. HR Muslim, dalam Shahih-nya, kitab Ash Shalat, Bab Shifat Al Adzan, no. 379.
[5]. HR At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Ma Ja’a Fit Tarji’, no. 192 dengan sanad shahih.
[6]. HR Ahmad; Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Kaifa Al Adzan, no. 503.
[7]. Fathul Bari, hlm. 2/84.
[8]. Syarhu Al Mumti’, Op.Cit. hlm. 2/51-52.
[9]. HR Ibnul Jarud dalam Al Muntaqa, no. 164 hlm. 1/160, Abu Ishaq Al Huwaini (pentahqiq kitab Al Muntaqa) menyatakan: “Sanadnya hasan”. Lihat Ghauts Al Makdud, Op.Cit. hlm. 1/160.
[10]. Lihat Fiqhu Sunnah, Sayyid Sabiq, Cetakan tahun 1416 H, Penerbit Al Fath Li I’lam Al Arabi, Kairo dan Syarikat Manar Ad Daulah, USA hlm. 1/126.
[11]. HR Ibnul Jarud dalam Muntaqa, no. 162, hlm. 1/158 dan dikatakan Abu Ishaq Al Huwaini: “Sanadnya shahih”. Lihat Ghauts Al Makdud, Op.Cit. hlm. 1/58-159.
[12]. HR At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Ma Ja’a Fit Tarji’, no. 192.
[13]. Lihat Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam Al Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan Tahun 1415H, Daar Ihyaa’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut, hlm. 3/81.
[14]. Lihat Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Hajar, Maktabah As Salafiyah, hlm. 2/77
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
No comments