Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus (jin) yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu tiada lain merupakan kebiasaan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di sebagian masyarakat kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kekuatan untuk memberikan kebaikan (rezeki, jodoh, anak dan lainnya) atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.
Ternyata ritual ini sudah berkembang sejak jaman Jahiliyah sebelum Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
Dan bahwasanya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan [al-Jin/72 :6]
Maksudnya, orang-orang di jaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal), bernazar, meminta pertolongan dan lain-lain[1] .
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
{وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
Dan (ingatlah) hari di waktu Allâh menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman): “Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia”. Lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir): “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allâh berfirman: “Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allâh menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” [al-An’âm/6:128]
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan ketika manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka orang yang menghambakan diri pada jin (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya”[2] .
HUKUM TUMBAL DAN SESAJEN DALAM ISLAM
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala [3] , adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh k berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” [al-An’âm/6:162-163].
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu (Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanlah [al-Kautsar/108:2)]
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala [4] .
Oleh karena itu, perbuatan mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allâh Azza wa Jalla , baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia, dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir) [5] .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh [al-Baqarah/2:173]
Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah berkata: “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sesembahan (selain Allâh Azza wa Jalla) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya” [6] .
Dalam sebuah hadits shahih, dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allâh melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya” [7] .
Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya berupa laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allâh Azza wa Jalla, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allâh Azza wa Jalla dan dijauhkan dari rahmat-Nya [8] .
Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allâh Azza wa Jalla semata-mata.
Jadi, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan sepele, seperti seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar [9] .
Dalam sebuah atsar dari Sahabat mulia, Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita)”. Maka mereka berkata kepada orang yang pertama: “Persembahkanlah sesuatu (untuk berhala kami)!”, tapi orang itu enggan – dalam riwayat lain: orang itu berkata: “Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allâh Azza wa Jalla –. Maka dia pun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu mereka berkata kepada orang yang kedua: “Persembahkanlah sesuatu (untuk berhala kami)!”, Dalam riwayat lain: orang itu berkata: “Aku tidak mempunyai sesuatu untuk dikurbankan” Maka mereka berkata lagi: “Persembahkanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!”. (Dengan menyepelekan), orang itu berkata: “Apalah artinya seekor lalat”. Lalu dia pun berkurban dengan seekor lalat. Dalam riwayat lain: maka mereka pun mengizinkannya lewat, kemudian (di akhirat) dia masuk neraka” [10] .
HUKUM BERPARTISIPASI DAN MEMBANTU DALAM ACARA TUMBAL DAN SESAJEN
Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual Jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar” [an-Nisâ’/4:48]
Atas dasar itu, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ini, dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk berta’awun (saling menolong) dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allâh Azza wa Jalla, yaitu perbuatan syirik.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allâh amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yakni perbuatan al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan saling membantu dalam perbuatan dosa dan maksiat” [11] .
Larangan berpartisipasi dalam perbuatan maksiat dan dosa juga dikuatkan oleh hadits hadits tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta mendukung perbuatan ini. Dari Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu dia berkata: “Rasûlullâh Shalallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang yang menulis (transaksinya), dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama (dalam perbuatan dosa)” [12].
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) diharamkannya menolong/mendukung (terselenggaranya perbuatan) batil (maksiat)” [13] .
HUKUM MEMANFAATKAN MAKANAN/HARTA YANG DIGUNAKAN UNTUK TUMBAL/SESAJEN
Jika makanan tersebut berupa hewan sembelihan, maka tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, karena hewan sembelihan tersebut telah dipersembahkan kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai [14] . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh [al-Baqarah/2:173]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Semua hewan yang disembelih untuk selain Allâh tidak boleh dimakan dagingnya” [15] .
Dan karena daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla jika mengharamkan memakan sesuatu maka Dia (juga) mengharamkan harganya (haram diperjualbelikan) [16].
Jika makanan tersebut selain hewan sembelihan, sebagian ulama mengharamkannya dan menyamakan hukumnya dengan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh Azza wa Jalla [17].
Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, insya Allâh, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah yang membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan, karena hukum asal makanan/harta tersebut adalah halal dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah berkata: “(Pendapat yang mengatakan) bahwa uang (harta), makanan, minuman dan hewan yang masih hidup, yang dipersembahkan oleh pemiliknya kepada (sembahan selain Allâh Azza wa Jalla, baik itu) kepada nabi, wali maupun (sembahan-sembahan) lainnya, haram untuk diambil dan dimanfaatkan, pendapat ini tidak benar. Karena semua itu adalah harta yang bisa dimanfaatkan dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya, serta hukumya tidak sama dengan bangkai (yang haram dan najis), maka (hukumnya) boleh diambil (dan dimanfaatkan), sama seperti harta (lainnya) yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk siapa saja yang menginginkannya, seperti bulir padi dan buah korma yang ditinggalkan oleh para petani dan pemanen pohon korma untuk orang-orang miskin.
Dalil yang menunjukkan kebolehan ini adalah (perbuatan) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika) beliau mengambil harta (yang dipersembahkan oleh orang-orang musyrik) yang (tersimpan) di perbendaharaan (berhala) Lâta, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (memanfaatkannya untuk) melunasi utang (Sahabat yang bernama) ‘Urwah bin Mas’ûd ats-Tsaqafi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) tidak menganggap dipersembahkannya harta tersebut kepada (berhala) Lâta sebagai (sebab) untuk melarang mengambil (dan memanfaatkan harta tersebut) ketika bisa (diambil).
Akan tetapi, orang yang melihat orang (lain) melakukan perbuatan syirik tersebut (mempersembahkan makanan/harta kepada selain Allâh Azza wa Jalla), dari kalangan orang-orang bodoh dan para pelaku syirik, wajib baginya untuk mengingkari perbuatan tersebut dan menjelaskan kepada pelaku syirik itu bahwa perbuatan tersebut termasuk syirik, supaya tidak timbul prasangka bahwa sikap diam dan tidak mengingkari (perbuatan tersebut), atau mengambil seluruh/sebagian dari harta persembahan tersebut, adalah bukti yang menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut dan bolehnya berkurban dengan harta tersebut kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Karena perbuatan syirik adalah kemungkaran (kemaksiatan) yang paling besar (dosanya), maka wajib diingkari/dinasehati orang yang melakukannya.
Adapun kalau makanan (yang dipersembahkan untuk selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala) tersebut terbuat dari daging hewan yang disembelih oleh para pelaku syirik, maka (hukumnya) haram (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga lemak dan kuahnya, karena (daging) sembelihan para pelaku syirik hukumnya sama dengan (daging) bangkai, sehingga haram (untuk dimakan) dan menjadikan najis makanan lain yang tercampur dengannya. Berbeda dengan (misalnya) roti atau (makanan) lainnya yang tidak tercampur dengan (daging) sembelihan tersebut, maka ini semua halal bagi orang yang mengambilnya (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga uang dan harta lainnya (halal untuk diambil), seperti yang telah dijelaskan. Wallâhu a’lam” [18].
PENUTUP
Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/550, Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 890, at-Tamhîd li Syarhi Kitâbit Tauhîd hlm. 317 dan Hum Laisû Bisyai hlm. 4
[2]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 273
[3]. Ibid hlm. 282
[4]. Ibid hlm. 228
[5]. Lihat Syarhu Shahîhi Muslim 13/141, al-Qaulul Mufîîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd 1/215 dan at-Tamhîd li Syarhi Kitâbit Tauhîd hlm. 146.
[6]. Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur`ân 3/319
[7]. HR. Muslim no. 1978
[8]. Keterangan Syaikh Shaleh Alu Syaikh dalam at-Tamhîd li Syarhi Kitâbit Tauhîd hlm. 146
[9]. Lihat Fathul Majîd hlm. 178 dan 179
[10]. Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 33038 dengan sanad shahih. Juga diriwayatkan dari jalan lain oleh Imam Ahmad dalam az-Zuhd hlm. 15-16, al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân no. 7343 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ 1/203
[11]. Tafsir Ibnu Katsîr 2/5
[12]. HR. Muslim no. 1598
[13]. Syarhu Shahîhi Muslim 11/26
[14]. Lihat keterangan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz dalam catatan kaki beliau terhadap Fathul Majîd hlm. 175
[15]. Daqâiqut Tafsîr 2/130
[16]. HR Ahmad 1/293, Ibnu Hibbân no. 4938 dan lain-lain. Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibbân dan Syaikh al-Albâni dalam Ghâyatul Marâm no. 318
[17]. Lihat keterangan Syaikh Muhammad Hamîd al-Faqi dalam catatan kaki beliau terhadap Fathul Majîd hlm. 174
[18]. Catatan kaki Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz terhadap Fathul Majîd hlm. 174-175
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
No comments