Oleh: Nadiyah el Haq
Surabaya
PENGEMIS di negeri ini tidaklah sedikit. Aksi dan gaya mereka pun bermacam-macam. Mulai dari pakaiannya yang compang camping, kusut dan seolah hanya itu yang dimiliki. Adapula yang menggendong anak kecil sehingga menyebabkan iba bagi yang melihatnya. Ada pula yang berpura-pura cacat sebagaimana yang ditemukan oleh Dinas Kota Bandung beberapa hari lalu. (www.detik.com).
Tentu, kita masih ingat berita Maret 2016 dimana ditemukan beberapa pengemis kaya raya. Ambil contoh Siswari yang saat dirasia sedang membawa uang tunai sebesar Rp. 400.000,00 serta membawa 3 BPKB kendaraan roda dua. Dan masih memiliki tabungan deposito sebesar Rp. 140 juta dan uang tabungan lain sebesar 16 juta. (www.tribunnews.com). MasyaAllah, tentu kita mempertanyakan mengapa mengemis menjadi pekerjaan yang dibanggakan oleh beberapa rakyat di negeri ini. Sudah sebegitu rusakkah mental rakyat ini dan sudah tidak perhatiankah pemerintah terhadap kesejahteraan warganya?
Sekulerisme Membentuk Mental Pengemis
Secara naluriah, tentu tidak ada orang yang ingin menjadi pengemis. Tapi mengemis bisa menjadi pilihan sukarela ataupun terpaksa ketika memang ada yang menyeretnya untuk itu. Apabila ditelusuri aksi mengemis di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem pemisahan urusan agama dalam kehidupan. Karena ketika agama menjadi tanggungjawab pribadi individu, sedangkan lingkungan dan Negara memberlakukan sebuah tatanan kehidupan yang materialis jauh dari nilai nilai keimanan maka dapat dipastikan lamban tapi pasti akan tereduksi ketaatan seseorang kepada Rabbnya dan akan semakin cinta terhadap dunia.
Akibat dari hubbun dun-ya (cinta dunia) ini tidak hanya dirasakan oleh individu tetapi juga aparatur Negara ini. Sebagaimana saat ini bisa kita lihat para pegawai Negara yang telah terlibat aksi pencurian uang Negara. Jalan-jalan mencari riski tidak lagi dilihat halal atau haramnya. Tapi fokusnya adalah bagaimana bisa meraih uang banyak. Secara mental pun tidak menyenangi perjuangan keras untuk meraih riski, maunya yang cepat dan tidak banyak mengeluarkan energy. Dan pada akhirnya mengemis menjadi salah satu pilihan. Meski harus melakukan aksi tipu muslihat semisal dengan menjadi orang yang cacat, bahkan hingga membawa bayi untuk diajak mengemis.
Islam Melarang Umatnya Menjadi Pengemis
Keberadaan pengemis tentu memalukan bagi bangsa ini demikian pula bagi agama ini. Secara tegas Allah swt melalui sabda NabiNya telah mengingatkan bahwa mengemis atau meminta-minta adalah perbuatan tercela.
Dari Abu Hurairah, ia menceritakan aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “ Hendaklah salah seorang diantara kalian berangkat mencari kayu bakar dan meletakkannya di atas punggung lalu bersedekah darinya, sehingga dengannya ia tidak membutuhkan lagi pemberian dari orang lain adalah lebih baik daripada orang yang meminta kepada seseorang lalu diberi atau ditolak. Karena sesungguhnya tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah dan hal itu mulailah dengan orang yang berada di bawah tanggunganmu,” (HR. Bukhori)
Dari Samrah bin Jundub Ra ia bercerita: Bahwa Rasulullah bersabda, “Meminta-minta itu merupakan aib yang dicakarkan oleh seseorang kewajahnya sendiri. kecuali orang yang meminta kepada penguasa atau dalam suatu urusan yang menjadi keharusan baginya,” (HR. Abu Dawud)
Untuk mengatasi masalah pengemis ini, bagi negara dalam sistem Islam berkewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Menata kehidupan ekonomi masyarakat yang mensejahterakan semua pihak. Dan mengelola kekayaan alam untuk kepentingan rakyat. Teori ini dapat dilihat dari kebijakan Rasulullah saw ketika ada seorang fakir yang meminta-minta maka beliau beri dia kayu bakar dan memintanya untuk dijual dipasar. Maka tindakan Nabi ini memberikan petunjuk kepada kita bagaimana cara mengatasi pengemis yaitu memberikan kepadanya modal untuk bekerja. Bekerja adalah jalan memperoleh riski yang berkah. Bukan dengan melarangnya tapi tidak diberikan solusi nyata.
Dalam Sistem ekonomi Islampun dilarang memberikan hak pengelolaan kekayaan alam kepada asing maupun swasta. Hal ini supaya kekayaan alam dapat dinikamati hasilnya secara utuh oleh rakyat dan Negara tidak mengalami kerugian. Demikian pula adanya qadhi hisbah yang aktif berkeliling untuk memberikan keamanan terhadap pelanggaran hak atas individu. Sistem Islampun memberikan jaminan nafkah bagi muslimah mulai dari jalur keluarga hingga ke Negara jika memang kondisi keluarga tidak mampu. Dan apabila benar-benar dalam kondisi fakir maka Negara akan menjaminnya melalui baitul bal. Inilah konsep periayahan Islam terhadap manusia sehingga menjadi pribadi yang mulia dan bukan yang meminta minta. Wallahua’lam.
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
No comments