Al-Azhar di masa Daulah Fathimiyah pernah menjadi pusat penyiaran ajaran Syiah. Begitu gencarnya gerakan dakwah Syiah di Mesir saat itu, sehingga ajaran Sunni pun menjadi asing.
Ketika Shalahuddin al-Ayubi menduduki kursi perdana menteri Fathimiyah, kemudian berkuasa di Mesir pasca Fathimiyah, maka ideologi Sunni berupaya dihadirkan kembali. Al-Azhar kemudian menjadi benteng ilmu Sunni.
Para ulama al-Azhar dari waktu ke waktu terus berusaha melindungi umat dari pemahaman dan firqah yang tidak sesuai dengan Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Meskipun demikian, ada pula pernyataan yang potensial menimbulkan perdebatan, misalnya tentang gagasan pendekatan antar-mazhab yang dilontarkan Syaikh Mahmud Syalthut.
Perbincangan tentang hal ini juga ramai di media massa ketika bulan Februari 2016 lalu, Grand Syaikh al-Azhar, Syaikh Ahmad Muhammad ath-Thayyib, berkunjung ke Indonesia. Bagaimana keadaan yang sebenarnya?
Ihwal kali ini akan mencoba mengupas salah satu sisi sejarah al-Azhar. Penelusuran dari berbagai dokumen dan literatur dilakukan langsung di Kairo, Mesir. Sejak al-Azhar jadi pusat penyebaran Syiah, hingga akhirnya menjadi benteng ilmu Sunni sampai masa ini.
***
Kala itu Mesir dikuasai oleh Daulah al-Akhsyidiyah. Penguasa ini tunduk kepada kekhalifahan di Baghdad (Iraq) yang memberinya mandat untuk memimpin Mesir. Namun loyalitas itu goyah karena Baghdad kemudian menghendaki Muhammad Raiq sebagai pemimpin. Al-Akhsyid menyatakan melepaskan diri dari Baghdad dan menyatakan loyalitas kepada Fathimiyah, kekuatan Syiah yang berkuasa di Maghrib.
Perselisihan itu akhirnya selesai di meja diplomasi. Disepakati bahwa al-Akhsyid tetap berkuasa di Mesir namun harus memberi 140 ribu dinar per tahun. (Lihat an-Nujum az-Zahirah, 3/252, 253)
Ketika Daulah al-Akhsyidiyah dipegang Kafur, Mesir mencoba untuk mandiri dari Baghdad. Secara diplomatis, hubungan baik dengan Baghdad maupun Fathimiyah terus dijaga. Kafur tidak sungkan mengirim hadiah kepada Khalifah al-Mu’iz Fathimiyah. Bahkan saat ibu al-Mu’iz melaksanakan haji, Kafur mengunjungi serta mengirim pasukan untuk memberi pelayanan. Di masa itu, para pendakwah Fathimiyah pun bebas memasuki Mesir.
Kafur wafat tahun 357 H. Terjadilah pergolakan politik di Mesir. Situasi ini dimanfaatkan oleh Fathimiyah untuk melakukan serangan. Dengan dipimpin oleh Jauhar as-Siqili, Fathimiyah berhasil mengakhiri kekuasaan al-Aksyidiyah dan kemudian bisa berkuasa di Mesir. (al-It`ath al-Hunafa, hal 157, 158)
Jauhar yang saat itu menjadi panglima perang Fathimiyah kemudian membangun sebuah ibukota baru bagi Daulah Syiah. Kota itu bernama al-Manshurah, sebelum akhirnya diganti menjadi al-Qahirah (Kairo). (al-Khithtath, 1/273)
Selanjutnya, Jauhar membangun masjid baru yang berfungsi sebagai pusat penyiaran ajaran Syiah, yakni Masjid al-Azhar. Juga membangun istana tempat tinggal khalifah yang lokasinya kini berada di lokasi Masjid Husain dan Khan al-Khalili. (Tarikh Daulah al-Fathimiyah, hal 531)
Penyebaran Ajaran Syiah
Ketika masih berada di bawah kekuasaan Baghdad, umat Islam di Mesir adalah penganut Sunni. Mayoritas fiqihnya mengikuti mazhab Maliki dan Syafi’i, serta sebagian lagi Hanafi dan Hambali. Sedangkan ajaran Syiah waktu itu tidak terlihat dalam praktik kehidupan beragama.
Ajaran Syiah mulai terasa di masa Kafur berkuasa. Ini bermula dari gencarnya dakwah oleh orang-orang Fathimiyah. Sebagian pemeluk Sunnah pun terpengaruh dan mengikuti ajaran Syiah. Meski Mesir berada di bawah kekuasaan Baghdad, namun hubungan dengan Fathimiyah pun terus membaik. Pendakwah Syiah pun leluasa keluar-masuk Mesir.
Lambat laun, pengikut Syiah bertambah. Meningkat pula loyalitas kepada Fathimiyah Maghrib. Bahkan Mesir mengirim surat kepada al-Mu’iz, Khalifah Fathimiyah, “Jika telah tersingkir Hajar Aswad, maka kekuasaan Tuan Kami al-Mu’iz di atas bumi.” Yang dimaksud Hajar Aswad adalah Kafur. (Nujum az-Zahirah, 4/72)
Setelah Fathimiyah menguasai Mesir, maka mulai dilakukan perubahan sistem negara sesuai dengan ajaran Syiah. Pengadilan dan fatwa harus menganut ajaran Syiah serta menentang segala hal yang bertentangan dengan ajaran Syiah. (al-Khithath, 4/136)
Saat itu qadhi agung dijabat oleh hakim Sunni, Qadhi Abu Thahur ad-Duhli, yang ditunjuk oleh Baghdad. Namun setelah Abu Thahur sakit dan meninggal, maka jabatan qadhi agung hanya boleh dipegang kalangan Syiah. (Hushn al-Muhadharah, 2/11)
Di awal masuknya Fathimiyah ke Mesir, lafaz azan shalat untuk masjid-masjid resmi sudah diubah. Jika sebelumnya dikumandangkan “hayya ‘alal-falah”, maka kemudian diganti dengan “hayya ‘ala khairil-amal” sesuai dengan ajaran Syiah. Fathimiyah juga menggugurkan shalat tarawih karena menurut ajaran Syiah tidak ada shalat jamaah kecuali shalat lima waktu. (al-Khithath, 4/156, 157)
Hari raya Ghadir Khum dirayakan pertama kali di Mesir pada tahun 362 H. Ini diyakini oleh para penganut Syiah sebagai hari dimana Rasulullah SAW mewasiatkan kekhalifahan kepada Sahabat Ali bin Abi Thalib RA. Perayaan ini pun sempat membuat para penganut Sunni marah. (al-Khithath, 3/232)
Peran al-Azhar
Al-Azhar adalah masjid pertama yang dibangun oleh Fathimiyah di Mesir. Wazir Ibnu Kalas bertanggung jawab untuk mengangkat 35 ulama yang dibiayai negara untuk mengajarkan Syiah. Majelis itu sendiri menarik perhatian warga Mesir. Mereka berbondong-bondong dalam rangka mengadiri majelis hingga pernah 11 orang meninggal karena berdesakan di majelis Muhammad bin Nu’man. (al-Khithath, 4/156, 157)
Begitu pentingnya menyebarkan ajaran Syiah bagi Fathimiyah, maka dibentuklah jabatan da`i du`at. Ini adalah jabatan yang bertanggung jawab mendakwahkan ajaran Syiah dan memiliki wakil-wakil di seluruh wilayah Mesir dan di luar Mesir. (al-Khithtah, 3/226)
Dakwah Fathimiyah di Mesir yang disebut sebagai majlis al-hikmah bertujuan untuk merubah keyakinan para pejabat negara menuju keyakinan terhadap ajaran Syiah. Agar tetap aman dalam posisinya, maka para pejabat negara minimal harus memiliki kecenderungan terhadap ajaran Syiah. Gerakan ini juga ditujukan bagi rakyat secara umum, baik lelaki maupun perempuan. (al-Khithath, 2/226)
Da’i du’at juga memiliki fasilitas yang bernama Dar al-Ulum, yakni perpustakaan besar di lingkungan istana Fathimiyah. Di sini ada lebih dari 1,6 juta buku dan 2400 naskah al-Qur`an. Da’i du’at sendiri membawahi 36 ribu masjid di Mesir. (al-Khithath, 4/424)
Dakwah ajaran Syiah yang dilakukan oleh Fathimiyah terorganisasi cukup baik. Hasilnya, banyak penganut Sunni Mesir yang berpindah menjadi Syiah. Bahkan akhirnya, menurut sejarawan Mesir Abu al-Mahasin, ajaran Sunni menjadi barang asing. (an-Nujum az-Zahirah, 5/2).* (Suara Hidayatullah)
**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah
No comments